Wayang kulit Banjar
Wayang Kulit Banjar adalah
wayang kulit yang berkembang dalam budaya
suku Banjar di Kalimantan Selatan maupun di daerah perantauan suku seperti di
Indragiri Hilir.
Sejarah
Masyarakat Banjar di
Kalimantan Selatan
, telah mengenal pertunjukan wayang kulit sekitar awal abad ke-XIV.
Pernyataan ini diperkuat karena pada kisaran tahun 1300 sampai dengan
1400,
dimana Kerajaan
Majapahit telah menguasai sebagian wilayah Kalimantan (
Tjilik Riwut, 1993), dan membawa serta menyebarkan pengaruh agama
Hindu dengan jalan pertunjukan
wayang kulit.
Konon pasukan Majapahit yang dipimpin oleh
Andayaningrat membawa serta seorang dalang wayang kulit bernama
R. Sakar Sungsang
lengkap dengan pengrawitnya, pegelaran langsung ( sesuai pakem tradisi
Jawa ) yang dimainkannya kurang dapat dinikmati oleh masyarakat Banjar,
karena lebih banyak menggunakan repertoar dan ideom-ideom jawa, yang
sulit untuk dimengerti masyarakat setempat.
Masa perkembangan agama Islam
Pada saat memudarnya kerajaan Majapahit dan mulai berdirinya kerajaan
Islam (1526 M), pertunjukan wayang kulit mulai diadaptasi dengan
muatan-muatan lokal yang dipelopori oleh
Datuk Toya,
penyesuaian itu terus berlangsung sampai abad ke-XVI, perlahan-lahan
wayang kulit itu berubah, dan sesuai dengan citra rasa dan estetika
masyarakat Banjar.
Spesifikasi
Sekarang Wayang Kulit Banjar , telah menjadi seni pertunjukan yang
berdiri sendiri dan memiliki ciri-ciri spesifik yang membedakannya
dengan jenis wayang kulit lainnya, baik dari segi bentuk, musik/gamelan
pengiring, warna , ataupun tata-cara memainkannya, walaupun tokoh-tokoh
wayang cenderung mengikuti pakem pewayangan dan juga dikembangkan dari
tokoh dan perlambang masyarakat Banjar , seperti terdapatnya
gunungan/kayon,
Batara Narada,
Arjunawijaya,
jambu Leta Petruk,
Sarawita/Bilung,
Subali,
R.Hanoman,
Prabu Rama,
Kedakit Klawu atau
Raksasa dan lainnya.
Bahan dan Bagian Wayang
Bahan untuk membuat wayang kulit di Jawa biasanya adalah kulit/tulang
kerbau, mengingat pada saat itu kerbau kurang dibudidayakan, maka bahan
untuk membuat wayang kulit Banjar ini berasal dari kulit sapi bahkan
adapula yang terbuat dari kulit kambing. Secara umum bentuk dan fostur
wayang kulit Banjar relatif lebih kecil apabila dibandingkan dengan
wayang kulit yang asal dari Jawa, demikian pula dengan penatahan (
ornamen),
dan pengecatannya lebih sederhana, mengingat dalam pegelaran wayang
kulit Banjar "lebih diutamakan oleh bayangan berdasarkan penglihatan
dari belakang layar" , sehingga ornamen, detail dan warna ,kurang
terlihat oleh penonton , karena dibatasi oleh layar.
Cerita atau Lakon
Cerita wayang kulit Banjar bersumber dari dua kitab kuno yang berasal dari khasanah Hindu, yaitu
Ramayana dan
Mahabarata.
Selain dari kedua cerita tersebut , dalang wayang kulit Banjar sering
pula menampilkan cerita karangan/ gubahan sendiri yang mereka sebut
lakon
Carang
adan dalam perkembangannya lakon Carang inilah yang menjadi primadona
masyarakat Banjar. Selain lakon Carang , di Kalimantan Selatan juga
berkembang pertunjukan "
Wayang Sampir" , nanggap wayang sampir untuk suatu hajat tertentu disebut
manyampir,
merupakan ritual yang dipimpin oleh dalang untuk mengusir roh-roh jahat
yang mengganggu kehidupan manusia, dan biasanya diselenggarakan dalam
bentuk pagelaran padat dengan jangka waktu pelaksanaan pada kisaran dua
jam dan kemudian dilanjutkan dengan pagelaran biasa.
Penyelenggaraan
Pertunjukan wayang kulit Banjar biasanya diselenggarakan pada
kesempatan khitanan, upacara perkawinan adat, hari-hari besar nasional,
ataupun untuk memenuhi nazar seseorang, dengan tempat pertunjukan di
tanah lapang, halaman kantor/ rumah yang dapat menampung penonton, yang
menyaksikannya dengan berdiri , duduk ataupun lesehan sesuai
keinginannya. Pertunjukan wayang kulit Banjar biasanya di atas panggung,
lengkap dengan layar dan alat penerangan "
blencong"
, merupakan lampu dengan sumbu api dengan bahan bakarnya dari minyak
kelapa. Pada saat wayang kulit dimainkan oleh dalang, blencong tersebut
dipasang di belakang layar, sehingga jatuhnya bayangan dari wayang kulit
tepat pada layar . Di sisi kiri dan kanan dalang dipasang barisan
wayang kulit, sementara pada penabuh gamelan duduk di belakang dalang
sambil memainkan alat musiknya masing-masing.
Dalang
Pengetahuan untuk menjadi dalang memiliki tatacara tertentu. Mula-mula diserahkan
piduduk
(semacam sesajen) kepada guru dalang untuk belajar. Bila murid sudah
mengetahui pakem, tahu tentang tembang, mengetahui tentang gamelan maka
ia
batamat dengan jalan upacara mandi yang disebut
badudus kemudian melakukan upacara pernapasan yang disebut
bajumbang. Dalam kondisi ini ia (calon dalang) kawin dengan Arjuna. Sebelum memainkan wayang, ia harus mampu mengucapkan
Bisik Semar (mantera sebelum mendalang) dan
menyarung diri (menitis) dengan
Arjuna sebagai dalang sejati.
Spesifikasi
Sekarang Wayang Kulit Banjar , telah menjadi seni pertunjukan yang
berdiri sendiri dan memiliki ciri-ciri spesifik yang membedakannya
dengan jenis wayang kulit lainnya, baik dari segi bentuk, musik/gamelan
pengiring, warna , ataupun tata-cara memainkannya, walaupun tokoh-tokoh
wayang cenderung mengikuti pakem pewayangan dan juga dikembangkan dari
tokoh dan perlambang masyarakat Banjar , seperti terdapatnya
gunungan/kayon,
Batara Narada,
Arjunawijaya,
jambu Leta Petruk,
Sarawita/Bilung,
Subali,
R.Hanoman,
Prabu Rama,
Kedakit Klawu atau
Raksasa dan lainnya.
Bahan dan Bagian Wayang
Bahan untuk membuat wayang kulit di Jawa biasanya adalah kulit/tulang
kerbau, mengingat pada saat itu kerbau kurang dibudidayakan, maka bahan
untuk membuat wayang kulit Banjar ini berasal dari kulit sapi bahkan
adapula yang terbuat dari kulit kambing. Secara umum bentuk dan fostur
wayang kulit Banjar relatif lebih kecil apabila dibandingkan dengan
wayang kulit yang asal dari Jawa, demikian pula dengan penatahan (
ornamen),
dan pengecatannya lebih sederhana, mengingat dalam pegelaran wayang
kulit Banjar "lebih diutamakan oleh bayangan berdasarkan penglihatan
dari belakang layar" , sehingga ornamen, detail dan warna ,kurang
terlihat oleh penonton , karena dibatasi oleh layar.
Cerita atau Lakon
Cerita wayang kulit Banjar bersumber dari dua kitab kuno yang berasal dari khasanah Hindu, yaitu
Ramayana dan
Mahabarata.
Selain dari kedua cerita tersebut , dalang wayang kulit Banjar sering
pula menampilkan cerita karangan/ gubahan sendiri yang mereka sebut
lakon
Carang
adan dalam perkembangannya lakon Carang inilah yang menjadi primadona
masyarakat Banjar. Selain lakon Carang , di Kalimantan Selatan juga
berkembang pertunjukan "
Wayang Sampir" , nanggap wayang sampir untuk suatu hajat tertentu disebut
manyampir,
merupakan ritual yang dipimpin oleh dalang untuk mengusir roh-roh jahat
yang mengganggu kehidupan manusia, dan biasanya diselenggarakan dalam
bentuk pagelaran padat dengan jangka waktu pelaksanaan pada kisaran dua
jam dan kemudian dilanjutkan dengan pagelaran biasa.
Penyelenggaraan
Pertunjukan wayang kulit Banjar biasanya diselenggarakan pada
kesempatan khitanan, upacara perkawinan adat, hari-hari besar nasional,
ataupun untuk memenuhi nazar seseorang, dengan tempat pertunjukan di
tanah lapang, halaman kantor/ rumah yang dapat menampung penonton, yang
menyaksikannya dengan berdiri , duduk ataupun lesehan sesuai
keinginannya. Pertunjukan wayang kulit Banjar biasanya di atas panggung,
lengkap dengan layar dan alat penerangan "
blencong"
, merupakan lampu dengan sumbu api dengan bahan bakarnya dari minyak
kelapa. Pada saat wayang kulit dimainkan oleh dalang, blencong tersebut
dipasang di belakang layar, sehingga jatuhnya bayangan dari wayang kulit
tepat pada layar . Di sisi kiri dan kanan dalang dipasang barisan
wayang kulit, sementara pada penabuh gamelan duduk di belakang dalang
sambil memainkan alat musiknya masing-masing.
Dalang
Pengetahuan untuk menjadi dalang memiliki tatacara tertentu. Mula-mula diserahkan
piduduk
(semacam sesajen) kepada guru dalang untuk belajar. Bila murid sudah
mengetahui pakem, tahu tentang tembang, mengetahui tentang gamelan maka
ia
batamat dengan jalan upacara mandi yang disebut
badudus kemudian melakukan upacara pernapasan yang disebut
bajumbang. Dalam kondisi ini ia (calon dalang) kawin dengan Arjuna. Sebelum memainkan wayang, ia harus mampu mengucapkan
Bisik Semar (mantera sebelum mendalang) dan
menyarung diri (menitis) dengan
Arjuna sebagai dalang sejati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar