Tokoh Punakawan
- Semar
- Gareng
- Petruk
- Bagong
Kyai Lurah Semar Badranaya adalah nama tokoh
panakawan paling utama dalam
pewayangan Jawa dan
Sunda. Tokoh ini dikisahkan sebagai pengasuh sekaligus penasihat para
kesatria dalam pementasan kisah-kisah
Mahabharata dan
Ramayana. Tentu saja nama Semar tidak ditemukan dalam naskah asli kedua
wiracarita tersebut yang berbahasa
Sanskerta, karena tokoh ini merupakan asli ciptaan pujangga
Jawa.
Sejarah Semar
Menurut sejarawan
Prof. Dr. Slamet Muljana, tokoh Semar pertama kali ditemukan dalam karya sastra zaman
Kerajaan Majapahit berjudul
Sudamala. Selain dalam bentuk
kakawin, kisah
Sudamala juga dipahat sebagai
relief dalam Candi Sukuh yang berangka tahun
1439.
Semar dikisahkan sebagai abdi atau hamba tokoh utama cerita tersebut, yaitu
Sahadewa dari keluarga
Pandawa.
Tentu saja peran Semar tidak hanya sebagai pengikut saja, melainkan
juga sebagai pelontar humor untuk mencairkan suasana yang tegang.
Pada zaman berikutnya, ketika kerajaan-kerajaan Islam berkembang di
Pulau Jawa, pewayangan pun dipergunakan sebagai salah satu media dakwah. Kisah-kisah yang dipentaskan masih seputar
Mahabharata yang saat itu sudah melekat kuat dalam memori masyarakat Jawa. Salah satu
ulama yang terkenal sebagai ahli budaya, misalnya
Sunan Kalijaga.
Dalam pementasan wayang, tokoh Semar masih tetap dipertahankan
keberadaannya, bahkan peran aktifnya lebih banyak daripada dalam kisah
Sudamala.
Dalam perkembangan selanjutnya, derajat Semar semakin meningkat lagi.
Para pujangga Jawa dalam karya-karya sastra mereka mengisahkan Semar
bukan sekadar rakyat jelata biasa, melaikan penjelmaan Batara Ismaya,
kakak dari
Batara Guru, raja para dewa.
Asal-Usul dan Kelahiran
Terdapat beberapa versi tentang kelahiran atau asal-usul Semar. Namun semuanya menyebut tokoh ini sebagai penjelmaan dewa.
Dalam naskah
Serat Kanda dikisahkan, penguasa
kahyangan bernama
Sanghyang Nurrasa memiliki dua orang putra bernama
Sanghyang Tunggal dan
Sanghyang Wenang.
Karena Sanghyang Tunggal berwajah jelek, maka takhta kahyangan pun
diwariskan kepada Sanghyang Wenang. Dari Sanghyang Wenang kemudian
diwariskan kepada putranya yang bernama
Batara Guru. Sanghyang Tunggal kemudian menjadi pengasuh para kesatria keturunan Batara Guru, dengan nama Semar.
Dalam naskah
Paramayoga dikisahkan, Sanghyang Tunggal adalah
anak dari Sanghyang Wenang. Sanghyang Tunggal kemudian menikah dengan
Dewi Rakti, seorang putri raja jin kepiting bernama Sanghyang Yuyut.
Dari perkawinan itu lahir sebutir mustika berwujud telur yang kemudian
berubah menjadi dua orang pria. Keduanya masing-masing diberi nama
Ismaya untuk yang berkulit hitam, dan Manikmaya untuk yang berkulit
putih. Ismaya merasa rendah diri sehingga membuat Sanghyang Tunggal
kurang berkenan. Takhta kahyangan pun diwariskan kepada Manikmaya, yang
kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Ismaya hanya diberi
kedudukan sebagai penguasa alam
Sunyaruri, atau tempat tinggal
golongan makhluk halus. Putra sulung Ismaya yang bernama Batara
Wungkuham memiliki anak berbadan bulat bernama Janggan Smarasanta, atau
disingkat Semar. Ia menjadi pengasuh keturunan Batara Guru yang bernama
Resi Manumanasa
dan berlanjut sampai ke anak-cucunya. Dalam keadaan istimewa, Ismaya
dapat merasuki Semar sehingga Semar pun menjadi sosok yang sangat
ditakuti, bahkan oleh para dewa sekalipun. Jadi menurut versi ini, Semar
adalah cucu dari Ismaya.
Dalam naskah
Purwakanda dikisahkan, Sanghyang Tunggal memiliki
empat orang putra bernama Batara Puguh, Batara Punggung, Batara Manan,
dan Batara Samba. Suatu hari terdengar kabar bahwa takhta kahyangan akan
diwariskan kepada Samba. Hal ini membuat ketiga kakaknya merasa iri.
Samba pun diculik dan disiksa hendak dibunuh. Namun perbuatan tersebut
diketahui oleh ayah mereka. Sanghyang Tunggal pun mengutuk ketiga
putranya tersebut menjadi buruk rupa. Puguh berganti nama menjadi
Togog sedangkan Punggung menjadi Semar. Keduanya diturunkan ke dunia sebagai pengasuh keturunan Samba, yang kemudian bergelar
Batara Guru. Sementara itu Manan mendapat pengampunan karena dirinya hanya ikut-ikutan saja. Manan kemudian bergelar
Batara Narada dan diangkat sebagai penasihat Batara Guru.
Dalam naskah
Purwacarita dikisahkan, Sanghyang Tunggal menikah
dengan Dewi Rekatawati putra Sanghyang Rekatatama. Dari perkawinan itu
lahir sebutir telur yang bercahaya. Sanghyang Tunggal dengan perasaan
kesal membanting telur itu sehingga pecah menjadi tiga bagian, yaitu
cangkang, putih, dan kuning telur. Ketiganya masing-masing menjelma
menjadi laki-laki. Yang berasal dari cangkang diberi nama Antaga, yang
berasal dari putih telur diberi nama Ismaya, sedangkan yang berasal dari
kuningnya diberi nama Manikmaya. Pada suatu hari Antaga dan Ismaya
berselisih karena masing-masing ingin menjadi pewaris takhta kahyangan.
Keduanya pun mengadakan perlombaan menelan gunung. Antaga berusaha
melahap gunung tersebut dengan sekali telan namun justru mengalami
kecelakaan. Mulutnya robek dan matanya melebar. Ismaya menggunakan cara
lain, yaitu dengan memakan gunung tersebut sedikit demi sedikit. Setelah
melewati bebarpa hari seluruh bagian gunung pun berpindah ke dalam
tubuh Ismaya, namun tidak berhasil ia keluarkan. Akibatnya sejak saat
itu Ismaya pun bertubuh bulat. Sanghyang Tunggal murka mengetahui ambisi
dan keserakahan kedua putranya itu. Mereka pun dihukum menjadi pengasuh
keturunan Manikmaya, yang kemudian diangkat sebagai raja kahyangan,
bergelar Batara Guru. Antaga dan Ismaya pun turun ke dunia.
Masing-masing memakai nama Togog dan Semar.
Silsilah dan Keluarga
Dalam pewayangan dikisahkan, Batara Ismaya sewaktu masih di kahyangan
sempat dijodohkan dengan sepupunya yang bernama Dewi Senggani. Dari
perkawinan itu lahir sepuluh orang anak, yaitu:
-
- Batara Wungkuham
- Batara Surya
- Batara Candra
- Batara Tamburu
- Batara Siwah
- Batara Kuwera
- Batara Yamadipati
- Batara Kamajaya
- Batara Mahyanti
- Batari Darmanastiti
Semar sebagai penjelmaan Ismaya mengabdi untuk pertama kali kepada
Resi Manumanasa, leluhur para
Pandawa.
Pada suatu hari Semar diserang dua ekor harimau berwarna merah dan
putih. Manumanasa memanah keduanya sehingga berubah ke wujud asli, yaitu
sepasang bidadari bernama Kanistri dan Kaniraras. Berkat pertolongan
Manumanasa, kedua bidadari tersebut telah terbebas dari kutukan yang
mereka jalani. Kanistri kemudian menjadi istri Semar, dan biasa
dipanggil dengan sebutan Kanastren. Sementara itu, Kaniraras menjadi
istri Manumanasa, dan namanya diganti menjadi Retnawati, karena kakak
perempuan Manumanasa juga bernama Kaniraras.
Pasangan Panakawan / Punokawan
Dalam
pewayangan Jawa Tengah, Semar selalu disertai oleh anak-anaknya, yaitu
Gareng,
Petruk, dan
Bagong.
Namun sesungguhnya ketiganya bukan anak kandung Semar. Gareng adalah
putra seorang pendeta yang mengalami kutukan dan terbebas oleh Semar.
Petruk adalah putra seorang raja bangsa Gandharwa. Sementara Bagong
tercipta dari bayangan Semar berkat sabda sakti Resi Manumanasa.
Dalam pewayangan Sunda, urutan anak-anak Semar adalah
Cepot,
Dawala, dan
Gareng.
Sementara itu, dalam pewayangan Jawa Timuran, Semar hanya didampingi
satu orang anak saja, bernama Bagong, yang juga memiliki seorang anak
bernama Besut.
Bentuk Fisik
Semar memiliki bentuk fisik yang sangat unik, seolah-olah ia
merupakan simbol penggambaran jagad raya. Tubuhnya yang bulat merupakan
simbol dari
bumi, tempat tinggal umat manusia dan makhluk lainnya.
Semar selalu tersenyum, tapi bermata sembab. Penggambaran ini sebagai
simbol suka dan duka. Wajahnya tua tapi potongan rambutnya bergaya
kuncung seperti anak kecil, sebagai simbol tua dan muda. Ia berkelamin
laki-laki, tapi memiliki payudara seperti perempuan, sebagai simbol pria
dan wanita. Ia penjelmaan dewa tetapi hidup sebagai rakyat jelata,
sebagai simbol atasan dan bawahan.
Keistimewaan Semar
Keris pengantin dengan pegangan Semar
Semar merupakan tokoh pewayangan ciptaan pujangga lokal. Meskipun
statusnya hanya sebagai abdi, namun keluhurannya sejajar dengan
Prabu Kresna dalam kisah
Mahabharata. Jika dalam perang
Baratayuda menurut versi aslinya, penasihat pihak
Pandawa hanya Kresna seorang, maka dalam pewayangan, jumlahnya ditambah menjadi dua, dan yang satunya adalah Semar.
Semar dalam karya sastra hanya ditampilkan sebagai pengasuh keturunan
Resi Manumanasa, terutama para
Pandawa yang merupakan tokoh utama kisah
Mahabharata. Namun dalam pementasan
wayang yang bertemakan
Ramayana, para dalang juga biasa menampilkan Semar sebagai pengasuh keluarga
Sri Rama ataupun
Sugriwa. Seolah-olah Semar selalu muncul dalam setiap pementasan wayang, tidak peduli apapun judul yang sedang dikisahkan.
Dalam pewayangan, Semar bertindak sebagai pengasuh golongan kesatria,
sedangkan Togog sebagai pengasuh kaum raksasa. Dapat dipastikan anak
asuh Semar selalu dapat mengalahkan anak asuh Togog. Hal ini
sesungguhnya merupakan simbol belaka. Semar merupakan gambaran perpaduan
rakyat kecil sekaligus dewa kahyangan. Jadi, apabila para pemerintah -
yang disimbolkan sebagai kaum kesatria asuhan Semar - mendengarkan suara
rakyat kecil yang bagaikan suara Tuhan, maka negara yang dipimpinnya
pasti menjadi nagara yang unggul dan sentosa.
Gareng
Gareng adalah salah satu dari empat
punakawan yang sering muncul dalam pertunjukan
wayang.
Riwayat
Nama lengkap dari
Gareng sebenarnya adalah
Nala Gareng, hanya saja
masyarakat sekarang lebih akrab dengan sebutan “Gareng”.
Gareng adalah
punakawan yang
berkaki pincang. Hal ini merupakan sebuah
sanepa
dari sifat Gareng sebagai kawula yang selalu hati-hati dalam bertindak.
Selain itu, cacat fisik Gareng yang lain adalah tangan yang
ciker
atau patah. Ini adalah sanepa bahwa Gareng memiliki sifat tidak suka
mengambil hak milik orang lain. Diceritakan bahwa tumit kanannya terkena
semacam
penyakit bubul.
Dalam suatu
carangan Gareng pernah menjadi
raja di
Paranggumiwayang dengan gelar
Pandu Pragola. Saat itu dia berhasil mengalahkan Prabu
Welgeduwelbeh raja dari
Borneo yang tidak lain adalah penjelmaan dari saudaranya sendiri yaitu
Petruk.
Dulunya, Gareng berujud
satria tampan bernama
Bambang Sukodadi
dari pedepokan Bluktiba. Gareng sangat sakti namun sombong, sehingga
selalu menantang duel setiap satria yang ditemuinya. Suatu hari, saat
baru saja menyelesaikan
tapanya, ia berjumpa dengan satria lain bernama
Bambang Panyukilan.
Karena suatu kesalahpahaman, mereka malah berkelahi. Dari hasil
perkelahian itu, tidak ada yang menang dan kalah, bahkan wajah mereka
berdua rusak. Kemudian datanglah Batara
Ismaya (Semar) yang kemudian melerai mereka. Karena Batara Ismaya ini adalah
pamong para satria Pandawa yang berjalan di atas kebenaran, maka dalam bentuk
Jangganan Samara Anta, dia (Ismaya) memberi nasihat kepada kedua satria yang baru saja berkelahi itu.
Karena kagum oleh nasihat Batara Ismaya, kedua satria itu minta mengabdi dan minta diaku anak oleh Lurah
Karang Kadempel,
titisan dewa (Batara Ismaya) itu. Akhirnya Jangganan Samara Anta
bersedia menerima mereka, asal kedua satria itu mau menemani dia menjadi
pamong para kesatria berbudi luhur (
Pandawa), dan akhirnya mereka berdua setuju. Gareng kemudian diangkat menjadi anak tertua (sulung) dari
Semar.
Komik dan Film
Pada tahun 1960an, di Indonesia pernah diterbitkan dagelan versi komik dari tokoh punakawan ini. Komik tersebut berjudul
Petruk
dan Gareng. Sebenarnya bukan hanya satu komikus yang pernah membuat
komik ini, namun Indri Soedono adalah komikus yang disebut mengawalinya.
Indri Soedono adalah komikus yang paling produktif membuat komik
Petruk
dan Gareng ini di tahun 1960an hingga tahun 1970an, karya-karyanya
banyak diterbitkan oleh CV Loka Tjipta Semarang. Komikus lain yang
mengikutinya adalah Oerip, Rini AS, Leo, Sopoiki, Tjepi, Ricky NS, dan
Tatang Suhenra.
Diantara para komikus yang pernah menggarap
Petruk dan Gareng, Tatang S adalah salah satu komikus yang paling tenar sebagai membuat komik
Petruk
dan Gareng karena dia yang masih tetap bertahan membuat komik ini meski
pada tahun 1980an dunia perkomikan di Indonesia mulai meredup. Dia
membuat komik
Petruk
dan Gareng dengan format sederhana dan mendistribusikan langsung ke
sekolah-sekolah dasar melalui penjual mainan anak-anak. Komik dengan
format sederhana tersebut kebanyakan diterbitkan Gultom Agency.
Komik
Petruk
dan Gareng yang pernah digarap oleh para komikus Indonesia ini berbeda
dengan kisah pewayangan aslinya, setting dari komik ini lebih modern.
Mulai masyarakat perkotaan hingga masyarakat pedesaan, lengkap dengan
atribut-atribut masa kini yaitu sepeda motor dan mobil.
Kemudian pada tahun 2011, pertama kali dagelan
Petruk dan Gareng versi komik ini dibuat filmnya. Film tersebut berjudul Gareng dan
Petruk dalam kisah Super - Horror the Movie. Film berdurasi 27 menit ini diputar pertama kali di
Bioskop 21 Dieng Plasa
Kota Malang. Film komedi ini dibuat oleh
Padepokan Film Malang, salah satu komunitas film di Kota Malang bekerjasama dengan Radio MFM dan
Indosat.
Tokoh pewayangan Jawa |
|
Petruk |
Nama lain: |
Dawala
Kantong Bolong
Dublajaya
Pentungpinanggul |
Posisi: |
Punakawan |
Jenis kelamin: |
Pria |
Ciri-ciri: |
Berhidung panjang dan berkulit hitam |
Keistimewaan: |
Senang bergurau |
Senjata: |
Kapak | | | | | | |
Petruk adalah tokoh
punakawan dalam
pewayangan Jawa, di pihak keturunan/trah
Witaradya. Petruk tidak disebutkan dalam kitab
Mahabarata. Jadi jelas bahwa kehadirannya dalam dunia pewayangan merupakan gubahan asli
Jawa. Di ranah
Pasundan, Petruk lebih dikenal dengan nama
Dawala atau
Udel.
Kisah
Masa lalu
Menurut pedalangan, ia adalah anak pendeta
raksasa di pertapaan dan bertempat di dalam laut bernama
Begawan Salantara. Sebelumnya ia bernama
Bambang Pecruk Panyukilan.
Ia gemar bersenda gurau, baik dengan ucapan maupun tingkah laku dan
senang berkelahi. Ia seorang yang pilih tanding/sakti di tempat
kediamannya dan daerah sekitarnya. Oleh karena itu ia ingin berkelana
guna menguji kekuatan dan kesaktiannya.
Di tengah jalan ia bertemu dengan Bambang Sukodadi dari pertapaan
Bluluktiba yang pergi dari padepokannya di atas bukit, untuk mencoba
kekebalannya. Karena mempunyai maksud yang sama, maka terjadilah perang
tanding. Mereka berkelahi sangat lama, saling menghantam, bergumul,
tarik-menarik, tendang-menendang, injak-menginjak, hingga tubuhnya
menjadi cacat dan berubah sama sekali dari wujud aslinya yang tampan.
Perkelahian ini kemudian dipisahkan oleh
Smarasanta (
Semar) dan
Bagong yang mengiringi
Batara Ismaya.
Mereka diberi petuah dan nasihat sehingga akhirnya keduanya menyerahkan
diri dan berguru kepada Smara/Semar dan mengabdi kepada Sanghyang
Ismaya. Demikianlah peristiwa tersebut diceritakan dalam lakon
Batara Ismaya Krama.
Karena perubahan wujud tersebut masing-masing kemudian berganti nama.
Bambang Pecruk Panyukilan menjadi Petruk, sedangkan Bambang Sukodadi
menjadi
Gareng.
Istri dan keturunan
Petruk mempuyai istri bernama Dewi
Ambarwati,
putri Prabu Ambarsraya, raja Negara Pandansurat yang didapatnya melalui
perang tanding. Para pelamarnya antara lain: Kalagumarang dan Prabu
Kalawahana raja raksasa di Guwaseluman. Petruk harus menghadapi mereka
dengan perang tanding dan akhirnya ia dapat mengalahkan mereka dan
keluar sebagai pemenang. Dewi Ambarwati kemudian diboyong ke
Girisarangan dan Resi Pariknan yang memangku perkawinannya. Dalam
perkawinan ini mereka mempunyai anak lelaki dan diberi nama
Lengkungkusuma.
Petruk dalam lakon pewayangan
Oleh karena Petruk merupakan tokoh
pelawak/
dagelan (Jawa), kemudian oleh seorang
dalang
digubah suatu lakon khusus yang penuh dengan lelucon-lelucon dan
kemudian diikuti dalang-dalang lainnya, sehingga terdapat banyak sekali
lakon-lakon yang menceritakan kisah-kisah Petruk yang menggelikan,
contohnya lakon
Pétruk Ilang Pethèlé ("Petruk kehilangan
kapaknya").
Dalam kisah
Ambangan Candi Spataharga/Saptaraga, Dewi
Mustakaweni, putri dari negara Imantaka, berhasil mencuri pusaka
Jamus Kalimasada dengan jalan menyamar sebagai kerabat
Pandawa (
Gatutkaca),
sehingga dengan mudah ia dapat membawa lari pusaka tersebut. Kalimasada
kemudian menjadi rebutan antara kedua negara itu. Di dalam kekeruhan
dan kekacauan yang timbul tersebut, Petruk mengambil kesempatan
menyembunyikan Kalimasada, sehingga karena kekuatan dan pengaruhnya yang
ampuh, Petruk dapat menjadi raja menduduki singgasana Kerajaan
Lojitengara dan bergelar Prabu Welgeduwelbeh. Lakon ini terkenal dengan
judul
Petruk Dadi Ratu ("Petruk Menjadi Raja"). Prabu
Welgeduwelbeh/Petruk dengan kesaktiannya dapat membuka rahasia Prabu
Pandupragola, raja negara Tracanggribig, yang tidak lain adalah kakaknya
sendiri, yaitu
Nala Gareng. Dan sebaliknya
Bagong-lah
yang menurunkan Prabu Welgeduwelbeh dari tahta kerajaan Lojitengara dan
terbongkar rahasianya menjadi Petruk kembali. Kalimasada kemudian
dikembalikan kepada pemilik aslinya, Prabu
Puntadewa.
Hubungan dengan punakawan lainnya
Petruk dan panakawan yang lain (
Semar,
Gareng dan
Bagong)
selalu hidup di dalam suasana kerukunan sebagai satu keluarga. Bila
tidak ada kepentingan yang istimewa, mereka tidak pernah berpisah satu
sama lain. Mengenai Punakawan, punakawan berarti ”kawan yang
menyaksikan” atau pengiring. Saksi dianggap sah, apabila terdiri dari
dua orang, yang terbaik apabila saksi tersebut terdiri dari orang-orang
yang bukan sekeluarga. Sebagai saksi seseorang harus dekat dan
mengetahui sesuatu yang harus disaksikannya. Di dalam pedalangan, saksi
atau punakawan itu memang hanya terdiri dari dua orang, yaitu Semar dan
Bagong bagi trah Witaradya.
Sebelum
Sanghyang Ismaya
menjelma dalam diri cucunya yang bernama Smarasanta (Semar), kecuali
Semar dengan Bagong yang tercipta dari bayangannya, mereka kemudian
mendapatkan Gareng/Bambang Sukodadi dan Petruk/Bambang Panyukilan.
Setelah Batara Ismaya menjelma kepada Janggan Smarasanta (menjadi
Semar), maka Gareng dan Petruk tetap menggabungkan diri kepada Semar dan
Bagong. Disinilah saat mulai adanya punakawan yang terdiri dari empat
orang dan kemudian mendapat sebutan dengan nana ”parepat/prapat”.
Komik dan Film
Pada tahun 1960an, di
Indonesia
pernah diterbitkan dagelan versi komik dari tokoh punakawan ini. Komik
tersebut berjudul Petruk dan Gareng. Sebenarnya bukan hanya satu komikus
yang pernah membuat komik ini, namun Indri Soedono adalah komikus yang
disebut mengawalinya. Indri Soedono adalah komikus yang paling produktif
membuat komik Petruk dan Gareng ini di tahun 1960an hingga tahun
1970an, karya-karyanya banyak diterbitkan oleh CV Loka Tjipta Semarang.
Komikus lain yang mengikutinya adalah Oerip, Rini AS, Leo, Sopoiki,
Tjepi, Ricky NS, dan Tatang S.
Diantara para komikus yang pernah menggarap Petruk dan Gareng, Tatang
S adalah salah satu komikus yang paling tenar sebagai membuat komik
Petruk dan Gareng karena dia yang masih tetap bertahan membuat komik ini
meski pada tahun 1980an dunia perkomikan di Indonesia mulai meredup.
Dia membuat komik Petruk dan Gareng dengan format sederhana dan
mendistribusikan langsung ke sekolah-sekolah dasar melalui penjual
mainan anak-anak. Komik dengan format sederhana tersebut kebanyakan
diterbitkan Gultom Agency.
Komik Petruk dan Gareng yang pernah digarap oleh para komikus
Indonesia ini berbeda dengan kisah pewayangan aslinya, setting dari
komik ini lebih modern. Mulai masyarakat perkotaan hingga masyarakat
pedesaan, lengkap dengan atribut-atribut masa kini yaitu sepeda motor
dan mobil.
Kemudian pada tahun 2011, pertama kali dagelan Petruk dan Gareng
versi komik ini dibuat filmnya. Film tersebut berjudul Gareng dan Petruk
dalam kisah Super - Horror the Movie. Film berdurasi 27 menit ini
diputar pertama kali di
Bioskop 21 Dieng Plasa
Kota Malang. Film komedi ini dibuat oleh Padepokan Film Malang, salah satu komunitas film di Kota Malang bekerjasama dengan Radio MFM dan
Indosat.
Wayang Bagong versi Solo.
Ki Lurah Bagong adalah nama salah satu tokoh
punakawan dalam kisah
pewayangan yang berkembang di
Jawa Tengah dan
Jawa Timur. Tokoh ini dikisahkan sebagai anak bungsu
Semar. Dalam
pewayangan Sunda juga terdapat tokoh panakawan yang identik dengan Bagong, yaitu
Cepot atau
Astrajingga. Namun bedanya, menurut versi ini, Cepot adalah anak tertua Semar. Dalam wayang banyumasan Bagong lebih dikenal dengan sebutan
Bawor.
Ciri fisik
Sebagai seorang
panakawan yang sifatnya menghibur penonton
wayang,
tokoh Bagong pun dilukiskan dengan ciri-ciri fisik yang mengundang
kelucuan. Tubuhnya bulat, matanya lebar, bibirnya tebal dan terkesan
memble. Dalam figur wayang kulit, Bagong membawa senjata
kudi.
Gaya bicara Bagong terkesan semaunya sendiri. Dibandingkan dengan ketiga panakawan lainnya, yaitu
Semar,
Gareng, dan
Petruk, maka Bagong adalah sosok yang paling lugu dan kurang mengerti tata krama. Meskipun demikian majikannya tetap bisa memaklumi.
Asal-usul
Beberapa versi menyebutkan bahwa, sesungguhnya Bagong bukan
anak kandung Semar. Dikisahkan Semar merupakan penjelmaan seorang dewa bernama
Batara Ismaya yang diturunkan ke dunia bersama kakaknya, yaitu
Togog atau
Batara Antaga untuk mengasuh keturunan adik mereka, yaitu
Batara Guru.
Togog dan Semar sama-sama mengajukan permohonan kepada ayah mereka, yaitu
Sanghyang Tunggal,
supaya masing-masing diberi teman. Sanghyang Tunggal ganti mengajukan
pertanyaan berbunyi, siapa kawan sejati manusia. Togog menjawab
"hasrat", sedangkan Semar menjawab "bayangan". Dari jawaban tersebut,
Sanghyang Tunggal pun mencipta hasrat Togog menjadi manusia kerdil
bernama
Bilung, sedangkan bayangan Semar dicipta menjadi manusia bertubuh bulat, bernama Bagong.
Versi lain menyebutkan, Semar adalah cucu Batara Ismaya. Semar mengabdi kepada seorang pertapa bernama
Resi Manumanasa yang kelak menjadi leluhur para
Pandawa. Ketika Manumanasa hendak mencapai
moksha,
Semar merasa kesepian dan meminta diberi teman. Manumanasa menjawab
bahwa temannya yang paling setia adalah bayangannya sendiri. Seketika
itu pula, bayangan Semar pun berubah menjadi manusia, dan diberi nama
Bagong.
Bagong pada zaman Kolonial
Gaya bicara Bagong yang seenaknya sendiri sempat dipergunakan para
dalang untuk mengkritik penjajahan kolonial
Hindia Belanda. Ketika
Sultan Agung meninggal tahun
1645, putranya yang bergelar
Amangkurat I menggantikannya sebagai pemimpin
Kesultanan Mataram. Raja baru ini sangat berbeda dengan ayahnya. Ia memerintah dengan sewenang-wenang serta menjalin kerja sama dengan pihak
VOC-
Belanda.
Keluarga besar Kesultanan Mataram saat itu pun terpecah belah. Ada
yang mendukung pemerintahan Amangkurat I yang pro-Belanda, ada pula yang
menentangnya. Dalam hal kesenian pun terjadi perpecahan. Seni wayang
kulit terbagi menjadi dua golongan, yaitu golongan Nyai Panjang Mas yang
anti-Amangkurat I, dan golongan Kyai Panjang Mas yang sebaliknya.
Rupanya pihak Belanda tidak menyukai tokoh Bagong yang sering
dipergunakan para dalang untuk mengkritik penjajahan VOC. Atas dasar
ini, golongan Kyai Panjang Mas pun menghilangkan tokoh Bagong, sedangkan
Nyai Panjang Mas tetap mempertahankannya.
Pada zaman selanjutnya, Kesultanan Mataram mengalami keruntuhan dan berganti nama menjadi
Kasunanan Kartasura. Sejak tahun
1745 Kartasura kemudian dipindahkan ke
Surakarta. Selanjutnya terjadi perpecahan yang berakhir dengan diakuinya
Sultan Hamengkubuwono I yang bertakhta di
Yogyakarta.
Dalam hal pewayangan, pihak Surakarta mempertahankan aliran Kyai
Panjang Mas yang hanya memiliki tiga orang panakawan (Semar, Gareng, dan
Petruk), sedangkan pihak Yogyakarta menggunakan aliran Nyai Panjang Mas
yang tetap mengakui keberadaan Bagong.
Akhirnya, pada zaman kemerdekaan Bagong bukan lagi milik Yogyakarta
saja. Para dalang aliran Surakarta pun kembali menampilkan empat orang
punakawan dalam setiap pementasan mereka. Bahkan, peran Bagong cenderung
lebih banyak daripada
Gareng yang biasanya hanya muncul dalam
gara-gara saja.
Bagong versi Jawa Timur
Dalam pewayangan gaya Jawa Timuran, yang berkembang di daerah
Surabaya,
Gresik,
Mojokerto,
Jombang,
Malang dan sekitarnya, tokoh
Semar hanya memiliki dua orang anak , yaitu Bagong dan Sarangaja. Bagong sendiri memiliki anak bernama
Besut.Dalam
versi ini adik Bagong memang jarang di pentaskan namun ada lakon
tertentu dimana Sarangaja keluar seperti lakon Adeg'e Khayangan Suralaya
dimana pada cerita ini menceritakan Asal usul Bagong dalam versi Jawa
Timur.
Tentu saja Bagong gaya Jawa Timuran memiliki peran yang sangat
penting sebagai panakawan utama dalam setiap pementasan wayang.
Ucapannya yang penuh humor khas timur membuatnya sebagai tokoh wayang
yang paling ditunggu kemunculannya.
Dalam versi ini, Bagong memiliki nama sebutan lain, yaitu
Jamblahita.